Kamis, 10 Oktober 2013

hipersensitivitas



BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini  berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.

1.2     Rumusan Masalah
  1. Apa defenisi penyakit hipersensitivitas?
  2. Etiologi penyakit hipersensitivitas?
  3. Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?
  4. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?
  5. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?
  6. Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?
  7. Bagaimana cara pemeriksaan penunjang hipersensitivitas?
  8. Bagaimana diagnostik hipersensitivitas?
  9. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?
  10. Bagaimana prognosis penyakit hipersensitivitas?
1.3    Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan lebih dalam mengenai malfungsi sistem imun pada gangguan imunologi khususnya penyakit hipersensitifitas serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Imun.













BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Defenisi
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.

2.2     Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :
  1. Faktor Internal
a.       Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b.      Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
c.       Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.
  1. Fakor Eksternal
a.       Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b.      Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c.       Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.

2.3    Patofisiologi
Saat  pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh  seseorang  yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang  akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk  mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal  yaitu,:
  1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
  2. Alergen  tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah.   Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian
2.4    Klasifikasi
  1. Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
  1. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a.       Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b.      Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c.       Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
  1. Hipersensitifitas tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
  1. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tipe
Waktu reaksi
Penampakan klinis
Histologi
Antigen dan situs
Kontak
48-72 jam
Eksim (ekzema)
Limfosit, diikuti makrofag; edema epidermidis
Epidermal (senyawa organik, jelatang atau poison ivy, logam berat , dll.)
Tuberkulin
48-72 jam
Pengerasan (indurasi) lokal
Limfosit, monosit, makrofag
Intraderma (tuberkulin, lepromin, dll.)
Granuloma
21-28 hari
Pengerasan
Makrofag, epitheloid dan sel raksaksa, fibrosis
Antigen persisten atau senyawa asing dalam tubuh (tuberkulosis, kusta, etc.)



Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis

Tipe

Mekanisme Imun
Gangguan Prototipe
1
Tipe Anafilaksis
Alergen mengikat silang antibody IgE ® pelepasan amino vasoaktif dan mediatorlain dari basofil dan sel mast rektumen sel radang lain
Anafilaksis, beberapa bentuk asma bronchial
2
Antibodi terhadap antigen jaringan tertentu
IgG atau IgM  berikatan dengan antigen pada permukaan sel        fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen atau sitotosisitas yang diperantarai oleh sel yang bergantung antibodi
Anemia hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis, penyakit Goodpasture, pemfigus vulgaris
3
Penyakit Kompleks Imun
Kompleks antigen-antibodi   mengaktifkan ® komplemen  menarik perhatian nenutrofil menjadikan pelepasan enzim lisosom, radikal bebas oksigen, dll                     
Reahsi Arthua, serum sickness, lupus eritematosus sistemik, bentuk tertentu glumerulonefritis akut
4
Hipersensivitas Selular (Lambat)
Limfisit T tersensitisasi pelepasan sitokin dan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T
Tuberkulosis, dermatitis kontak, penolakan transplant

2.5     Tanda dan Gejala
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1.      Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala sering disertai pruritis
2.      Demam
3.      Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4.      Limfadenopati
a.         kejang perut, mual
b.         neuritis optic
c.         glomerulonefritis
d.        sindrom lupus eritematosus sistemik
e.         gejala vaskulitis lain
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
  1. Pada saluran pernafasan : asma
  2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
  3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
  4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir    
                                                                                                                        
2.6     Pemeriksaan Fisik
  1. Inspeksi:  apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan  terdapat gejala adanya urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
  2. Palpasi: ada nyeri tekan  pada kemerahan
  3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
  4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat).
2.7    Pemeriksaan Penunjang
  1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
  2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
  3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
  4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
  5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
  6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
  7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
  8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
2.8    Diagnostik
  1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
  2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
  3. Reaksi psikologi
2.9       Terapi
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
  1. Menghindari allergen
  2. Terapi farmakologis
a.       Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.

b.      Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.

c.       Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.

d.      Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
  1. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun
  1. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

2.10      Prognosis
Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun  alergi makananpun akan berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik sejak  periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.











BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1)      Identitas klien
Meliputi nama, umur,jenis kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose medis.
2)      Keluhan utama
Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.
3)      Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan pada kulit, mual muntah dan terasa gatal.
4)      Riwayat penyakit dahulu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
5)      Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.
6)      Riwayat psikososial
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.
7)      Pemeriksaan fisik
·         Keadaan umum: Tingkat kesadaran GCS
·         Tanda-tanda vital
·         Keadaan fisik
Kepala dan leher
Dada
Payudara dan ketiak
Abdomen
Genitalia
Integument
Ekstremitas
Pemeriksaan neurologist
8)      Pemeriksaan Penunjang
·         Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
·         Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
·         IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
·         Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
·         Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
·         Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
·         Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.

3.2 Diagnosa Keperawatan
1..Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan  terpajan allergen
2.Hipertermi berhubungan dengan  proses inflamasi
3.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunder
4.Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan  cairan berlebih
5.Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan)

3.3 Perencanaan
Contoh : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunder.
Tujuan : setelah diberikan askep selama ….x24 jam diharapkan pasien tidak akan mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteria hasil :
·         Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol dan odema
·         Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma
·         Kerusakan integritas kulit berkurang
3.4 Intervensi :
1.      Lihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi
R/: Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
2.      Hindari obat intramaskular
R/: Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorpsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit.
3.      Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat anti gatal
R/: mengurangi rasa gatal
4.      Observasi TTV
R/: mengetahui tingkat keadaan klien dan perubahan yang terjadi pada klien secara dini.























BAB IV
Penutup
4.1 Kesimpulan
1. Karakteristik Hipersensitivitas Tipe I (Immediate Hipersensivity)
·         Antibody : Ig E
·         Antigen : Exsogen
·         Histologi : Basofil dan Eosinofil
·         Pembawaan pemindahan : Antibodi
·         Waktu respon : 15-30 menit
·         Penampilan tubuh : Kemerah-merahan
·         Contoh penyakit : Asma alergi, Dermatitis atopi dan Rhinitis alergi

2. Karakteristik Hipersensitivitas Tipe II (Antibody Mediated)
·         Antibody : Ig G dan Ig M
·         Antigen : Dipermukaan Sel Terlarut
·         Histologi : Antibody dan Komplemen
·         Pembawaan pemindahan : Antibodi
·         Waktu respon : beberapa menit sampai jam
·         Penampilan tubuh : Lisis dan nekrosis
·         Contoh penyakit : Anemia hemolitik, Rhemautic fever dan Goodpasture’s

3. Karakteristik Hipersensitivitas Tipe III (Imun Complex)
·         Antibody : Ig G dan Ig M
·         Antigen : -
·         Histologi : Komplemen dan neutrofil
·         Pembawaan pemindahan : Antibodi
·         Waktu respon : 3-8 jam
·         Penampilan tubuh : Eriterma, edem dan nekrosis
·         Contoh penyakit : Poststreptococcal, Glomerulonephritis dan SLE

4.      Karakteristik Hipersensitivitas Tipe IV (T Cell Mediated)
·         Antibody : -
·         Antigen : Jaringan dan Organ
·         Histologi : Monosit dan Limfosit
·         Pembawaan pemindahan : T-cell
·         Waktu respon : 48-72 jam
·         Penampilan tubuh : Eriterma
·         Contoh penyakit : Rheumatotoid Arthritis dan DM.

4.2. Saran
            Saran sesuai dengan masalah yang telah disimpulkan oleh penulis, pada akhir makalah penulis memberikan saran bahwa untuk penaggulangan Hipersensitivitas yaitu dengan Menjaga kelembaban ruangan dengan mengatur sirkulasi angin dan udara, Menjaga kebersihan pakaian dan mengganti sprei sedikitnya seminggu sekali,Mebersihkan pekarangan dan memastikan tidak ada tumpukan sampah dan genangan air yang akan menjadi tempat timbulnya jamur,Konsultasi dengan dokter dan melakukan tes alergi untuk mengetahui allergen-allergen yang harus dihindari

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates