BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Epilepsi atau penyakit ayan merupakan manifestasi klinis berupa
muatan listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak berupa serangan kejang
berulang. Lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan mendadak, sehingga
penerimaan serta pengiriman impuls dalam/dari otak ke bagian-bagian lain dalam
tubuh terganggu.
Secara umum masyarakat di Indonesia salah mengartikan penyakit
epilepsi. Akibatnya, penderita epilepsi sering dikucilkan. Padahal, epilepsi
bukan termasuk penyakit menular, bukan penyakit jiwa, bukan penyakit yang
diakibatkan “ilmu klenik”, dan bukan penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Umumnya ayan
mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran, luka kepala,
pitam otak (stroke), tumor otak, alkohol. Kadang-kadang, ayan mungkin juga
karena genetika, tapi ayan bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab pastinya
tetap belum diketahui.
Semua orang beresiko mendapat epilepsi. Bahkan, setiap orang
beresiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi. Pengguna narkotik dan
peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin mendapat
seizure pertama karena menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan
terus mendapat seizure walaupun sudah lepas dari narkotik.
Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang penyakit epilepsi atau
ayan, melatarbelakangi penulis menyusun makalah ini. Makalah ini membahas
hal-hal mengenai penyakit epilepsi, penyebab, klasifikasi penyakit epilepsi,
mekanisme terjadinya epilepsi dan pengobatannya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.
Apa definisi dari penyakit
epilepsi?
2.
Apa penyebab epilepsi?
3.
Apa saja klasifikasi dari
penyakit epilepsi?
4.
Bagaimana patofisiologi dari
epilepsi?
5.
Bagaimana pengobatan
epilepsi?
C. TUJUAN PENULISAN
Untuk menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan mengenai sistem neurobehavior membahas tentang “penyakit
epilepsi”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN EPILEPSI
Epilepsi menurut JH
Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan pada jaringan
saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan
sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada
kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang
kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai
dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis,
rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu
kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih
dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi
epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan
epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai
tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron
yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru
dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu:
·
Riwayat sedikitnya satu
bangkitan epileptik sebelumnya
·
Perubahan di otak yang
meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan selanjutnya
·
Berhubungan dengan gangguan
pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologi dan konsekuensi sosial yang
ditimbulkan
(Octaviana, 2008).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam
etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat
lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara
berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (Baiquni, 2010).
B.
ETIOLOGI Penyebab
pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi
pada:
1. Trauma
lahir, Asphyxia neonatorum
2.
Cedera
Kepala, Infeksi sistem syaraf
3.
Keracunan
CO, intoksikasi obat/alkohol
4.
Demam, ganguan
metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5.
Tumor Otak
6.
Kelainan
pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Penyebab-
penyebab kejang pada epilepsi
|
|
Bayi (0- 2
th)
|
Hipoksia
dan iskemia paranatal
Cedera
lahir intrakranial
Infeksi
akut
Gangguan
metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi
kongenital
Gangguan
genetic
|
Anak (2-
12 th)
|
Idiopatik
Infeksi
akut
Trauma
Kejang
demam
|
Remaja
(12- 18 th)
|
Idiopatik
Trauma
Gejala
putus obat dan alcohol
Malformasi
anteriovena
|
Dewasa
Muda (18- 35 th)
|
Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
|
Dewasa lanjut (> 35)
|
Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal
hepatik, dll )
Alkoholisme
|
D.
KLASIFIKASI EPILEPSI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan
epilepsi dan klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi
berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi
(simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan
bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi
berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Data 1.
Klasifikasi internasional bangkitan epilepsi (1981) adalah
Bangkitan
parsial
1.
Bangkitan parsial sederhana
(tanpa gangguan kesadaran)
a.
Dengan gejala motorik
b.
Dengan gejala sensorik
c.
Dengan gejala otonomik
d.
Dengan gejala psikik
2.
Bangkitan parsial kompleks
(dengan gangguan kesadaran)
a.
Awalnya parsial sederhana,
kemudian diikuti gangguan kesadaran
·
Bangkitan parsial sederhana,
diikuti gangguan kesadaran
·
Dengan automatisme
b.
Dengan gangguan kesadaran
sejak awal bangkitan
·
Dengan gangguan kesadaran
saja
·
Dengan automatisme
3.
Bangkitan umum sekunder
(tonik-klonik, tonik atau klonik)
a.
Bangkitan parsial sederhana
berkembang menjadi bangkitan umum
b.
Bangkitan parsial kompleks
berkembang menjadi bangkitan umum
c.
Bangkitan parsial sederhana
berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
Bangkitan
Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)
1. Bangkitan lena
Lena ( absence ), sering di sebut petitmal. Serangan terjadi
secara tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik,
di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau
mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang
waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-klonik.
2. Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang
singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis taua asinkronis.
Biasanay tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan.
3. Bangkitan tonik
Tonik, seranagan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba
meningkat dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas.
Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa
menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
4. Bangkitan atonik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh.
Keadaan ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut
lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta
mendapatkan luka-luka.
5. Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aoleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat.
6.
Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis seranag
klasik epilepsi seranagn ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan taua
pendengaran selama beberapa saat yang di ikuti oleh kehilangan kesadaran secara
cepat.
Bangkitan
Epileptik yang Tidak Tergolongkan
Data 2. Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma
Localization-related (focal,
partial) epilepsies
1.
Idiopatik
a.
Benign childhood
epilepsy with centrotemporal spikes
b.
Childhood epilepsy with
occipital paroxysm
2.
Symptomatic
a.
Subklasifikasi dalam
kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi anatomi yang diperkirakan
berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang predominan, EEG interiktal dan iktal,
gambaran neuroimejing.
b.
Kejang parsial sederhana,
kompleks atau kejang umum sekunder berasal dari lobus frontal, parietal,
temporal, oksipital, fokus multipel atau fokus tidak diketahui.
c.
Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik
Epilepsi
Umum
1.
Idiopatik
a.
Benign neonatal
familial convulsions, benign neonatal convulsions
b.
Benign myoclonic
epilepsy in infancy
c.
Childhood absence
epilepsy
d.
Juvenile absence
epilepsy
e.
Juvenile myoclonic
epilepsy (impulsive petit mal)
f.
Epilepsy with grand mal
seizures upon awakening
g.
Other generalized
idiopathic epilepsies
2.
Epilepsi Umum Kriptogenik
atau Simtomatik
a.
West’s syndrome
(infantile spasms)
b.
Lennox gastaut syndrome
c.
Epilepsy with myoclonic
astatic seizures
d.
Epilepsy with myoclonic
absences
3.
Simtomatik
a.
Etiologi non spesifik
b.
Early myoclonic
encephalopathy
c.
Specific disease states
presenting with seizures
(Octaviana, 2008).
E.
PATOFISIOLOGI
Menurut para
penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekumpulan sel
neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan
hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai
fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang
fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui
jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah disekitarnya atau daerah
yang lebih jauh letaknya di otak.
Tidak semua
sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinik,
walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di
bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat
melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak
mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan
pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara
sinkron dan berlebihan (mekanisme terjadinya epilepsi).
Otak
merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada
hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf
yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat
zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas
listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber
gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas
listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya
dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami
muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat
kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian
tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
E. MANISFESTASI
KLINIS DAN PRILAKU
a) Manifestasi
klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan
penginderaan
b) Kelainan gambaran EEG
c) Bagian tubuh
yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptoge
d) Dapat mengalami aura yaitu suatu
sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak,
melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
e) Napas
terlihat sesak dan jantung berdebar
f)
Raut muka
pucat dan badannya berlumuran keringat.
g) Satu jari
atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau
somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal
seperti pada keadaan normal
h) Individu
terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu
tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
i)
Di saat
serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba-
tiba
j)
Kedua lengan
dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang
k) Gigi
geliginya terkancing
l)
Hitam bola
matanya berputar- putar
m) Terkadang
keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a)
CT Scan dan
Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal
abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi
simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT
scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas
tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit
neurologik yang jelas
b)
Elektroensefalogram(EEG)
untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c)
Kimia darah:
hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
d)
mengukur
kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
menilai
fungsi hati dan ginjal
menghitung
jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi).
Pungsi
lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
F. KOMPLIKASI
Kerusakan otak
akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang berulang.
Dapat timbul
depresi dan keadaan cemas.
G. PENATALAKSANAAN
Manajemen
Epilepsi :
Pastikan
diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi
Melakukan
terapi simtomatik
Dalam
memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang
dicapai, yakni:
Pengobatan
harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
Pengobatan
hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal.
Penderita
dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab
serangan. Jika penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia,
hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut
menghilangkan serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan
tujuan mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini:
fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik.
Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1.
Selama
Kejang
a)
Berikan
privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b)
Mengamankan
pasien di lantai jika memungkinka
c)
Hindarkan
benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas.
Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d)
Longgarkan
bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya
menutupi jalan pernapasan.
2.
Setelah
Kejang
a)
Penderita
akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b)
Pertahankan
pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas
paten.
c)
Biasanya
terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d)
Periode
apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
e)
Pasien pada
saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkunga
f)
Beri
penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan biarkan
penderita beristirahat.
g)
Jika pasien
mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani
situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut
h)
Laporkan
adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian
pengobatan oleh dokter.
H. PENCEGAHAN
Upaya sosial luas yang menggabungkan
tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi
muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma
atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh
proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian
tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab utama yang dapat dicegah.
Melalui program yang memberi keamanan
yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup
aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala.
Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar
belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi)
harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak
atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama
kehamilan dan persalinan.
Program
skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan
program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan
secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana
pencegahan ini.
I. PENGOBATAN
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan
jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi
kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama
biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta
beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk,
hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40%
anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan
etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat
pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan
secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan
tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan
berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak,
ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental.
Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa
berlangsung seumur hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat
yang menjadi ini pertama pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin.
Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan
asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai
dengan obat
anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas
tingkat terapeutis namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping,
maka dosis harus ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih
AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Keluhan
utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan
kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba
disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya
prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh
anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
Riwayat
penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
Riwayat
penyakit dahulu:
Trauma
lahir, Asphyxia neonatorum
Cedera
Kepala, Infeksi sistem syaraf
Ganguan
metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
Tumor Otak
Kelainan
pembuluh darah
Demam.
Strok
gangguan
tidur
penggunaan
obat
hiperventilasi
stress
emosional
Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan
penyakit ayan merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab
terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor
keturunan.
Riwayat psikososial :
Intrapersonal
: klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita
Interpersonal
: gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang berhubungan dengan
penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di masyarakat)
2.
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1.
Resiko
cedera dengan aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2.
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea,
peningkatan sekresi saliva
3.
Isolasi
sosial dengan rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit
epilepsi dalam masyarakat.
3.
RENCANA
ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Resiko
cedera denagan aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan :
Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria
hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak
ada memar, tidak jatuh.
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi:
Identivikasi
factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera
|
Barang-
barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi kejang
|
Pantau
status neurologis setiap 8 jam
|
Mengidentifikasi
perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan
|
Mandiri
Jauhkan
benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat
terjadi kejang
|
Mengurangi
terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol
|
Pasang
penghalang tempat tidur pasien
|
Penjagaan untuk
keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
|
Letakkan
pasien di tempat yang rendah dan datar
|
Area yang
rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien
|
Tinggal
bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
|
Memberi
penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
|
Menyiapkan
kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang
|
Lidah
berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
|
Tanyakan
pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum
kejang
|
Untuk
mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien
|
Kolaborasi:
Berikan
obat anti konvulsan sesuai advice dokter
|
Mengurangi
aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke
otak
|
Edukasi:
Anjurkan
pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau
mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
|
Sebagai
informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya
kejang berkelanjutan
|
Berikan
informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien
kejang
|
Melibatkan
keluarga untuk mengurangi resiko cedera
|
2)
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan :
jalan nafas menjadi efektif
Kriteria
hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada
dispnea
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
Anjurkan
klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau
alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup
jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan
pasien dalam posisi miring, permukaan datar
Tanggalkan
pakaian pada daerah leher / dada dan
abdomen
Melakukan
suction sesuai indikasi
Kolaborasi
Berikan
oksigen sesuai program terapi.
|
menurunkan
resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.
meningkatkan
aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
untuk
memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada
Mengeluarkan
mukus yang berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Membantu
memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia
serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder
terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.
|
3)
Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan:
mengurangi rendah diri pasien
Kriteria
hasil:
-
adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
-
menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi:
Identifikasi
dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial
pasien
|
Memberi
informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
|
Mandiri
Memberikan
dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
|
Dukungan
psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri
|
Kolaborasi:
Kolaborasi
dengan tim psikiater
|
Konseling
dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
|
Rujuk
pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan
sebagainya.
|
Memberikan
kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi
masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
|
Edukasi:
Anjurkan
keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
|
Keluarga
sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan
psikologis pasien
|
Memberi
informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak
menular
|
Menghilangkan
stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat
menular).
|
3)
Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan:
mengurangi rendah diri pasien
Kriteria
hasil:
-
adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
-
menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi:
Identifikasi
dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial
pasien
|
Memberi
informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
|
Mandiri
Memberikan
dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
|
Dukungan
psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri
|
Kolaborasi:
Kolaborasi
dengan tim psikiater
|
Konseling
dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
|
Rujuk
pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan
sebagainya.
|
Memberikan
kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi
masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
|
Edukasi:
Anjurkan
keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
|
Keluarga
sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan
psikologis pasien
|
Memberi
informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak
menular
|
Menghilangkan
stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat
menular)
|
4.
IMPLEMENTASI
Implementasi mencakup melakukan,
membantu, atau mengarahkan kinerja aktivitas kehidupan sehari-hari.
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
kestatus kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan.
1.
Membantu pasien mengatasi masalah atau peyakit yang
sedang di hadapi klien epilepsi agar tidak berputus asa.
2.
Memberikan semangat kepada pasien epilepsi
5. EVALUASI
1. Pasien tidak
mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2. Tidak ada
obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3. Pasien dapat
berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri
(minder)
4. Pola napas
normal, TTV dalam batas normal
5. Pasien
toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari
secara normal
6. Organ
sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epilepsy merupakan
gangguan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure,
fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan
dapat diartikan sebagai modifikasi fungtsi otak yang bersifat mendadak dan
sepintas yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan
berirama.Penyebab terjadinya epilepsy :
1. Cedera otak
2. Keracunan
3. Infeksi
4. Infestasi parasit
5. Tumor otak
6. Epilepsi idopatik
B. Saran
Saran kami tujuan kepada masyarakat dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi minuman keras yang akibatnya akan mengalami kehilangan kesadaran, karena hal itu merupakan factor utama epilepsy kompleks
Dianjurkan kepada petugas kesehatan untuk tidak melakukan operasi pembedahan sembarangan karena hal itu hanya menghilangkan rasa sakit sementara dan suatu saat gejala epilepsy akan timbul kembali