BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki
imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas
spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit
B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan
sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana
ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat
limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke
tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur,
maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan
imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah
reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah
berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon IgE yang
berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal
reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat
berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan
berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi
menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga
menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara rasa
gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin.
Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan
sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek
lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam
lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk
mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja maksimal, sehingga
terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada alergi
yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring
dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme
genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan
terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan
laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena disertai dengan
penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri
menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan
ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga
pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat
meningkat melebihi normal.
1.2 Rumusan Masalah
- Apa defenisi penyakit hipersensitivitas?
- Etiologi penyakit hipersensitivitas?
- Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?
- Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?
- Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?
- Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?
- Bagaimana cara pemeriksaan penunjang hipersensitivitas?
- Bagaimana diagnostik hipersensitivitas?
- Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?
- Bagaimana prognosis penyakit hipersensitivitas?
1.3 Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan
untuk menambah wawasan dan pengetahuan lebih dalam mengenai malfungsi sistem
imun pada gangguan imunologi khususnya penyakit hipersensitifitas serta untuk
memenuhi tugas mata kuliah Sistem Imun.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi
Alergi atau hipersensitivitas adalah
kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam
bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik.
Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau
bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.
2.2 Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi
makanan yaitu :
- Faktor Internal
a.
Imaturitas usus secara fungsional
(misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx)
maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan
penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus
mentoleransi makanan tertentu.
b.
Genetik berperan dalam alergi
makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi
ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
c.
Mukosa dinding saluran cerna belum
matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.
- Fakor Eksternal
a.
Faktor pencetus : faktor fisik
(dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari,
olah raga).
b.
Contoh makanan yang dapat memberikan
reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%;
kacang 5,3% dll.
c.
Hampir semua jenis makanan dan zat
tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.
2.3 Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya
alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi
makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak
gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda
itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan
memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B
untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya
antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang
mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi
2 hal yaitu,:
- Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
- Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian
2.4 Klasifikasi
- Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut
juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini
berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan
saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam,
mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara
15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami
keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh
imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit
atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah,
neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan
untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan
intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk
melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan
kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat
hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen).
Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik
seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG),
hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi
tertentu.
- Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan
oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk
melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan
terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan
antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan
antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada
target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan
reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga
dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas
tipe II adalah:
a.
Pemfigus (IgG bereaksi dengan
senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b.
Anemia hemolitik autoimun (dipicu
obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah
merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan
dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c.
Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi
dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
- Hipersensitifitas tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan
hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks
antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai
dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks
antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan
dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri,
virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang
persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap
senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi
secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran
sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa
organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid
pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri
dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks
imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit
serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai
reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi
dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan
antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora
Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru
pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat
keju.
- Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal
sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat
(delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel
T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan
diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan
leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari
hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas
kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis
(delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala,
serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tipe
|
Waktu
reaksi
|
Penampakan
klinis
|
Histologi
|
Antigen
dan situs
|
Kontak
|
48-72 jam
|
Eksim (ekzema)
|
Limfosit, diikuti makrofag; edema
epidermidis
|
|
Tuberkulin
|
48-72 jam
|
Pengerasan (indurasi) lokal
|
Limfosit, monosit, makrofag
|
Intraderma (tuberkulin, lepromin,
dll.)
|
Granuloma
|
21-28 hari
|
Pengerasan
|
Makrofag, epitheloid dan
sel raksaksa, fibrosis
|
Mekanisme
Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis
Tipe
|
Mekanisme
Imun
|
Gangguan
Prototipe
|
|
1
|
Tipe Anafilaksis
|
Alergen mengikat silang antibody
IgE ® pelepasan amino vasoaktif dan mediatorlain dari basofil
dan sel mast rektumen sel radang lain
|
Anafilaksis, beberapa bentuk asma
bronchial
|
2
|
Antibodi terhadap antigen jaringan
tertentu
|
IgG atau IgM berikatan
dengan antigen pada permukaan sel fagositosis
sel target atau lisis sel target oleh komplemen atau sitotosisitas yang
diperantarai oleh sel yang bergantung antibodi
|
Anemia hemolitik autoimun,
eritroblastosis fetalis, penyakit Goodpasture, pemfigus vulgaris
|
3
|
Penyakit Kompleks Imun
|
Kompleks
antigen-antibodi mengaktifkan ® komplemen menarik perhatian
nenutrofil menjadikan pelepasan enzim lisosom, radikal bebas oksigen,
dll
|
Reahsi Arthua, serum sickness,
lupus eritematosus sistemik, bentuk tertentu glumerulonefritis akut
|
4
|
Hipersensivitas Selular (Lambat)
|
Limfisit T tersensitisasi
pelepasan sitokin dan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T
|
Tuberkulosis, dermatitis kontak,
penolakan transplant
|
2.5 Tanda dan Gejala
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai
suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein atau obat
(misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis
sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi
akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems
kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring
dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan
bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi
segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita
dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila
antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti
di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa
kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia dan
granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas
tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria, angioedema, eritema,
makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala sering disertai pruritis
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi
sendi
4. Limfadenopati
a. kejang perut, mual
b. neuritis optic
c. glomerulonefritis
d. sindrom lupus eritematosus sistemik
e. gejala vaskulitis lain
Manifestasi klinis hipersensitivitas
tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi
pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin,
nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
- Pada saluran pernafasan : asma
- Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
- Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
- Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
2.6 Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
- Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan
- Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
- Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat).
2.7 Pemeriksaan Penunjang
- Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
- Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
- IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
- Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
- Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
- Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
- Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
- Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
2.8 Diagnostik
- Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
- Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
- Reaksi psikologi
2.9
Terapi
Penanganan gangguan alergi
berlandaskan pada empat dasar:
- Menghindari allergen
- Terapi farmakologis
a.
Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin (
epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin,
albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan
fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi
sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap
alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen
selama 34 jam.
b.
Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan
histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan
sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada
melawan kerja histamine.
c.
Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium
1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang
mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat
bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut.
Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
d.
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk
pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah
pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit
prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi
pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig
E mukosa.
- Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada
penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap
serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil pada
tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati
memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya
melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum
terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi
seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan
histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun
- Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik
atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk
urtikaria atau angioedema.
2.10 Prognosis
Alergi makanan biasanya akan membaik
pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan
membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna karena alergi
makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka
biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada
usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara
bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah yang
menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik
sejak periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya
akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur,jenis
kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
MRS, no register dan diagnose medis.
2) Keluhan utama
Biasanya terdapat kemerahan dan
bengkak pada kulit dan terasa gatal.
3) Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut, sesak
nafas, demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan pada kulit, mual muntah dan
terasa gatal.
4) Riwayat penyakit dahulu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien
pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul
kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani
perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
5) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga
pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.
6) Riwayat psikososial
Mengkaji orang terdekat dengan
pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien terhadap keluarga,
masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi
pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan
sistem nilai kepercayaan.
7) Pemeriksaan fisik
· Keadaan umum: Tingkat kesadaran GCS
· Tanda-tanda vital
· Keadaan fisik
Kepala dan leher
Dada
Payudara dan ketiak
Abdomen
Genitalia
Integument
Ekstremitas
Pemeriksaan neurologist
8) Pemeriksaan Penunjang
· Uji kulit : sebagai
pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk,
debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu,
telur, kacang, ikan).
· Darah tepi : bila eosinofilia
5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai
neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
· IgE total dan spesifik: harga normal
IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada
umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi
parasit atau keadaan depresi imun seluler.
· Tes intradermal nilainya terbatas,
berbahaya.
· Tes hemaglutinin dan antibodi
presipitat tidak sensitif.
· Biopsi usus : sekunder dan sesudah
dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa
usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen
).
· Pemeriksaan/ tes D Xylose,
proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1..Ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan terpajan allergen
2.Hipertermi berhubungan dengan
proses inflamasi
3.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi
dermal,intrademal sekunder
4.Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan berlebih
5.Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (
allergen,ex: makanan)
3.3 Perencanaan
Contoh : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
infalamasi dermal,intrademal sekunder.
Tujuan : setelah diberikan askep
selama ….x24 jam diharapkan pasien tidak akan mengalami kerusakan integritas
kulit lebih parah.
Kriteria hasil :
·
Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol
dan odema
·
Tidak terdapat tanda-tanda
urtikaria,pruritus dan angioderma
·
Kerusakan integritas kulit berkurang
3.4 Intervensi :
1. Lihat kulit, adanya edema, area
sirkulasinya terganggu atau pigmentasi
R/: Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
2. Hindari obat intramaskular
R/: Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat
absorpsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit.
3. Kolaborasi dengan tim dokter dalam
pemberian obat anti gatal
R/: mengurangi rasa gatal
4. Observasi TTV
R/: mengetahui tingkat keadaan klien
dan perubahan yang terjadi pada klien secara dini.
BAB IV
Penutup
4.1 Kesimpulan
1. Karakteristik Hipersensitivitas
Tipe I (Immediate Hipersensivity)
·
Antibody : Ig E
·
Antigen : Exsogen
·
Histologi : Basofil dan Eosinofil
·
Pembawaan pemindahan : Antibodi
·
Waktu respon : 15-30 menit
·
Penampilan tubuh : Kemerah-merahan
·
Contoh penyakit : Asma alergi,
Dermatitis atopi dan Rhinitis alergi
2.
Karakteristik Hipersensitivitas Tipe II (Antibody Mediated)
·
Antibody : Ig G dan Ig M
·
Antigen : Dipermukaan Sel Terlarut
·
Histologi : Antibody dan Komplemen
·
Pembawaan pemindahan : Antibodi
·
Waktu respon : beberapa menit sampai
jam
·
Penampilan tubuh : Lisis dan
nekrosis
·
Contoh penyakit : Anemia hemolitik,
Rhemautic fever dan Goodpasture’s
3. Karakteristik Hipersensitivitas Tipe
III (Imun Complex)
·
Antibody : Ig G dan Ig M
·
Antigen : -
·
Histologi : Komplemen dan neutrofil
·
Pembawaan pemindahan : Antibodi
·
Waktu respon : 3-8 jam
·
Penampilan tubuh : Eriterma, edem
dan nekrosis
·
Contoh penyakit : Poststreptococcal,
Glomerulonephritis dan SLE
4. Karakteristik Hipersensitivitas Tipe
IV (T Cell Mediated)
·
Antibody : -
·
Antigen : Jaringan dan Organ
·
Histologi : Monosit dan Limfosit
·
Pembawaan pemindahan : T-cell
·
Waktu respon : 48-72 jam
·
Penampilan tubuh : Eriterma
·
Contoh penyakit : Rheumatotoid
Arthritis dan DM.
Saran sesuai dengan masalah yang telah disimpulkan oleh penulis, pada akhir makalah penulis memberikan saran bahwa untuk penaggulangan Hipersensitivitas yaitu dengan Menjaga kelembaban ruangan dengan mengatur sirkulasi angin dan udara, Menjaga kebersihan pakaian dan mengganti sprei sedikitnya seminggu sekali,Mebersihkan pekarangan dan memastikan tidak ada tumpukan sampah dan genangan air yang akan menjadi tempat timbulnya jamur,Konsultasi dengan dokter dan melakukan tes alergi untuk mengetahui allergen-allergen yang harus dihindari
0 komentar:
Posting Komentar